TIMES KUDUS, JAKARTA – Musim yang awalnya penuh harapan bagi Inter Milan kini hanya bisa diselamatkan oleh satu hal: kemenangan atas Paris Saint-Germain (PSG) di final Liga Champions. Laga penentuan yang akan digelar di Munich pada Sabtu atau Minggu (31/5/2025) dini hari ini terasa seperti kesempatan terakhir bagi skuad asuhan Simone Inzaghi untuk menyelamatkan segalanya.
Inter datang dengan luka dari kegagalan mempertahankan gelar Serie A, dan mereka juga masih dihantui kenangan pahit final Liga Champions dua tahun lalu ketika kalah dari Manchester City di Istanbul. Bagi para pemain senior Nerazzurri, ini bisa jadi momen terakhir untuk meraih kejayaan Eropa.
Simone Inzaghi menghadapi tantangan berat: membangkitkan mental para pemainnya yang baru saja terpukul karena harus menyerahkan gelar Scudetto ke tangan Napoli pada hari terakhir liga.
"Musim ini meninggalkan kenangan yang sulit dilupakan," ujar Inzaghi kepada media, Senin lalu. "Ada banyak penderitaan dalam diri saya dan para pemain. Tak ada gunanya menyangkalnya."
Padahal beberapa bulan lalu, Inter masih dibicarakan sebagai kandidat peraih treble winner. Mereka tampil meyakinkan di Eropa, kembali bersaing di Serie A, dan melangkah ke semifinal Coppa Italia. Namun semuanya runtuh dalam tiga pertandingan pada bulan April.
Mimpi mengulang treble bersejarah ala Jose Mourinho pada 2010 kandas saat mereka dihajar 0-3 oleh rival sekota AC Milan di leg kedua Coppa Italia. Kekalahan itu diapit oleh dua hasil buruk di liga, yang membuat Napoli kembali menguasai jalur juara.
Meski gagal di domestik, performa Inter di Liga Champions justru mengesankan. Mereka lolos dari fase grup dengan hanya kebobolan satu gol dalam delapan pertandingan—sebuah catatan pertahanan yang mengingatkan pada solidnya mereka musim lalu saat menjuarai Serie A dengan hanya kebobolan 22 gol dalam 38 laga.
Namun babak gugur berubah menjadi medan pertarungan penuh drama. Empat laga terakhir Inter di Liga Champions dipenuhi gol dan ketegangan, puncaknya saat melawan Barcelona di semifinal.
Inter menang agregat 7-6 berkat gol penyama kedudukan dari Francesco Acerbi di masa tambahan waktu, disusul gol kemenangan dari Davide Frattesi di babak perpanjangan waktu. Bagi Acerbi yang kini berusia 37 tahun, gol itu bukan hanya yang pertama di pentas Eropa, tapi juga jadi bentuk balas dendam atas kekalahan di final musim lalu.
Berbeda dari PSG yang banyak mengandalkan pemain muda, Inter mengusung pengalaman. Nama-nama seperti Yann Sommer, Matteo Darmian, Henrikh Mkhitaryan, Stefan de Vrij, Hakan Calhanoglu, Piotr Zielinski, Marko Arnautovic, hingga Mehdi Taremi semuanya telah melewati usia 30.
Inzaghi berharap pengalaman mereka, ditambah motivasi untuk menebus kegagalan di Istanbul dan Serie A, bisa menjadi bahan bakar untuk mempersembahkan gelar paling prestisius bagi klub. Jika berhasil, mereka bisa menutup musim ini dengan kepala tegak dan menulis ulang narasi Inter Milan sebagai raksasa Eropa. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Final Liga Champions Jadi Momen Penebusan Inter Milan
Pewarta | : Antara |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |