TIMES KUDUS, JAKARTA – Sejak kemunculan film Iron Man (2008), Marvel Cinematic Universe (MCU) telah mengalami transformasi besar dalam hal pendekatan narasi. Dari yang awalnya menonjolkan pertempuran kolosal dan kekuatan luar biasa, kini semesta Marvel mulai memberi ruang lebih pada kerumitan psikologis dan perjuangan emosional para karakternya. Film Thunderbolts, yang dirilis pada 2 Mei 2025 sebagai penutup Fase 5 MCU, adalah simbol dari pergeseran ini.
Disutradarai Jake Schreier, Thunderbolts tidak hanya menyajikan aksi sinematik khas Marvel, tapi juga menggali kedalaman batin tokoh-tokohnya. Film ini menjadi tonggak baru karena berani menempatkan kesehatan mental sebagai poros cerita, sejalan dengan meningkatnya kesadaran global tentang pentingnya kesehatan psikologis di tengah tekanan zaman modern.
Dari Laga ke Luka: Evolusi Penceritaan Marvel
Pada dekade awal MCU, film-film seperti The Avengers (2012) dan Captain America: The Winter Soldier (2014) lebih banyak berfokus pada konflik fisik dan penyelamatan dunia. Namun seiring bertambahnya jumlah film dan berkembangnya penonton, Marvel mulai membangun dunia yang lebih manusiawi—dimana para pahlawan tidak lagi sempurna, dan justru semakin menarik karena cacat dan lukanya.
Dalam Thunderbolts, hal ini diwujudkan lewat penelusuran emosi terdalam dari setiap karakter. Tidak ada lagi pahlawan yang digambarkan hanya sebagai penyelamat tanpa cela. Mereka justru disorot sebagai manusia yang rapuh, mengalami trauma, kebingungan identitas, hingga tekanan moral yang membebani.
Yelena Belova: Luka yang Tak Terlihat
Yelena Belova (diperankan Florence Pugh) menjadi salah satu fokus emosional film ini. Sebagai mantan agen dari program Black Widow, Yelena membawa beban trauma mendalam akibat pengkhianatan, kehilangan keluarga, dan kehampaan relasi emosional. Ia bukan sekadar petarung ulung, melainkan juga sosok yang tengah mencari makna dan penerimaan.
Dalam Thunderbolts, Yelena diposisikan sebagai refleksi dari banyak individu modern—tangguh di luar, tetapi rapuh di dalam. Ia bergulat dengan bayang-bayang masa lalunya, termasuk rasa bersalah dan perasaan tidak pernah benar-benar memiliki “rumah”.
Ghost: Antagonis atau Korban?
Karakter Ava Starr alias Ghost (Hannah John-Kamen), yang pertama kali muncul dalam Ant-Man and the Wasp (2018), tampil kembali dalam dimensi psikologis yang jauh lebih dalam. Ava digambarkan bukan sebagai penjahat, tapi sebagai korban eksperimen sains yang membekas secara fisik dan mental. Hidup dalam kondisi tubuh yang tidak stabil, Ava juga menderita gangguan kecemasan dan depresi yang membuatnya teralienasi dari dunia.
Keputusannya untuk bergabung dengan Thunderbolts bukan karena ambisi kekuasaan, tetapi karena harapan menemukan jalan keluar dari rasa sakit dan rasa bersalah. Di sinilah film ini mengajak penonton untuk memahami antagonisme bukan semata soal moral, melainkan hasil dari luka dan kegagalan sistem.
Red Guardian: Maskulinitas dan Kerentanan
Alexei Shostakov atau Red Guardian (David Harbour) tampil sebagai gambaran dari generasi pria yang tumbuh dalam budaya maskulinitas toksik. Di permukaan, Alexei adalah pria kuat dengan selera humor, tetapi dalam dirinya tersimpan rasa kehilangan dan kerapuhan. Ia merasa terasing dari keluarganya dan dihantui oleh kegagalan masa lalu sebagai prajurit dan ayah.
Di sepanjang film, kita melihat proses dekomposisi egonya. Alexei belajar bahwa menjadi kuat bukan berarti menekan emosi, tetapi mengakui dan menghadapinya. Dinamika antara Alexei dan Yelena pun menjadi ruang penyembuhan yang sangat menyentuh.
“Sembuh Bersama”: Tema Kunci Thunderbolts
Yang membuat Thunderbolts terasa berbeda dari film Marvel sebelumnya adalah narasi kolektif tentang penyembuhan. Dalam film ini, setiap anggota tim memiliki luka masing-masing. Namun bukan kemenangan dalam pertempuran yang menyatukan mereka, melainkan perjuangan bersama untuk menerima diri dan mengatasi trauma.
Adegan-adegan pertemuan antar karakter sering kali lebih tenang dan reflektif. Dialog-dialog mereka membahas ketakutan, rasa kehilangan, dan pentingnya dukungan emosional. Mereka bukan sekadar rekan tempur, tetapi juga sesama penyintas yang saling menopang.
Film ini menjadi cermin dari kenyataan bahwa proses penyembuhan mental jarang bisa ditempuh sendirian. Dukungan sosial, penerimaan, dan empati adalah bagian penting dalam perjalanan itu. Pesan ini terasa sangat relevan di tengah meningkatnya angka depresi, kecemasan, dan perasaan kesepian di era digital.
Marvel dan Generasi Baru
Thunderbolts tidak lahir dalam ruang hampa. Perubahan ini mencerminkan sensitivitas Marvel terhadap audiens muda yang semakin sadar akan isu mental health, self-love, dan pentingnya kesehatan emosional. Karakter-karakter dengan dimensi psikologis yang rumit bukan hanya membuat cerita lebih kuat, tetapi juga membuka ruang identifikasi bagi penonton.
Generasi Z dan milenial kini lebih respek terhadap narasi yang jujur dan menyentuh sisi manusiawi. Dalam konteks ini, Thunderbolts sukses menjembatani dua dunia: hiburan aksi dan refleksi psikologis.
Superhero Juga Bisa Rapuh
Dengan mengedepankan tema trauma, penyembuhan, dan hubungan antarmanusia, Thunderbolts berhasil menunjukkan bahwa menjadi pahlawan tidak berarti bebas dari luka. Justru, kekuatan sejati bisa muncul ketika seseorang mampu mengakui kelemahannya dan bangkit bersama.
Film ini memberi kita harapan bahwa bahkan dalam dunia penuh kekacauan, akan selalu ada ruang untuk sembuh bersama. MCU telah membuka lembaran baru—dan Thunderbolts adalah tonggaknya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Thunderbolts, Ketika Superhero MCU Mulai Bicara Soal Kesehatan Mental
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Imadudin Muhammad |