TIMES KUDUS, KUDUS – Upaya pengembangan dan pelestarian Situs Patiayam di wilayah Kudus dan Pati, Jawa Tengah dinilai perlu segera dirumuskan bersama.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menekankan pentingnya langkah lanjutan pascaekskavasi untuk melindungi kawasan purbakala tersebut dari ancaman perubahan alam maupun rendahnya kepedulian terhadap benda bersejarah.
“Perubahan alam yang ekstrem dan minimnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan serius. Hal ini harus kita respon dengan kerja nyata dan kolaboratif,” ujar Lestari dalam keterangan tertulis, Minggu (23/11).
Pernyataan itu disampaikan Lestari saat membuka Forum Diskusi Aktual Berbangsa Bernegara (FDABB) bertema Memahami Situs Patiayam dalam Konteks Prasejarah Indonesia, yang digelar secara daring, Sabtu malam (22/11). Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah pakar arkeologi, geologi, dan kesehatan, serta perwakilan pemerintah daerah.
Para narasumber yang hadir antara lain Ketua CPAS Indonesia Prof. Truman Simanjuntak; peneliti dari Muséum national d'Histoire Naturelle, Prancis, Prof. Francois Semah; pakar geologi dari Universitas AKPRIND Prof. Sri Mulyaningsih dan Prof. Sutikno Bronto; serta Dekan FIK Universitas Kristen Satya Wacana, Dr. Ferry Fredy Karwur. Bupati Kudus Sam'ani Intakoris dan Kepala Desa Terban, Supeno, juga mengikuti diskusi tersebut.
Dalam paparannya, Lestari—yang juga anggota Komisi X DPR RI—mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mengidentifikasi tantangan dan peluang pengembangan kawasan Patiayam. Ia menilai masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar situs purbakala ini berperan besar dalam penguatan kebudayaan nasional.
Prof. Truman Simanjuntak menilai Patiayam sebagai situs purbakala yang unik karena terisolasi dari situs hominid lainnya dan memiliki lapisan batuan berusia hingga 800 ribu tahun. Ia menekankan pentingnya menjaga keamanan fosil serta membangun kerja sama erat dengan masyarakat lokal. “Patiayam ini sangat kaya. Kekayaan bangsa yang masih tersembunyi,” ujarnya.
Sementara itu, Prof. Francois Semah melihat ekskavasi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan prospek besar bagi penelitian lanjutan. Ia menyarankan perluasan area penggalian ke kawasan yang dulunya berada di dekat muara sungai, lokasi yang lebih kondusif bagi kehidupan masa lalu. “Kalau kita menemukan sungai purba, kemungkinan artefak maupun fosil manusia terbuka lebih besar,” katanya.
Pakar geologi Prof. Sri Mulyaningsih menjelaskan bahwa kawasan Patiayam berada di wilayah yang dulunya memiliki banyak maar—cekungan akibat aktivitas vulkanik Gunung Muria. Area sekitar maar dinilai potensial karena biasanya menjadi habitat makhluk hidup, termasuk manusia purba. Pendapat serupa disampaikan Prof. Sutikno Bronto yang menekankan perlunya peneliti arkeologi memperluas pendekatan pada geologi gunung api.
Dari perspektif kesehatan, Dr. Ferry Fredy Karwur menyoroti adanya kesenjangan pemahaman antara ilmuwan dan masyarakat mengenai pentingnya Patiayam. Ia menilai situs ini dapat menjadi ruang pembelajaran bagi warga sekitar dan membuka peluang lahirnya generasi yang memahami arkeologi, geologi, maupun vulkanologi.
Pemerintah Kabupaten Kudus sendiri menyatakan komitmennya mendukung pengembangan situs melalui penganggaran rutin untuk tali asih serta pemberian sertifikat bagi penemu fosil. Edukasi kepada masyarakat juga terus dilakukan agar pelestarian fosil di kawasan Patiayam berjalan berkelanjutan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Lestari Moerdijat Dorong Rumusan Pengembangan Situs Patiayam Secara Kolaboratif
| Pewarta | : Rochmat Shobirin |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |