https://kudus.times.co.id/
Kopi TIMES

Berhijab Bukan Setelah Menjadi Baik

Minggu, 18 Agustus 2024 - 12:22
Berhijab Bukan Setelah Menjadi Baik Dr. Edi Sugianto, M.Pd., Dosen pada Prodi PAI Institut Agama Al-Ghuraba Jakarta

TIMES KUDUS, JAKARTA – Mumpung lagi ramai-ramai membahas hijab, jilbab, dan kerudung (baca sendiri perbedaanya ya), atau penutup aurat bagi muslimah. Saya ingin sedikit bercerita terkait itu. 

Begini. Ada seorang anak perempuan yang baru berusia dua setengah tahun, selalu dikenakan kerudung setiap kali bertamasya bersama orangtuanya. Alasannya, di satu sisi supaya enggak keanginan akhirnya sakit, di sisi terpenting adalah untuk pembiasaan sejak dini. Awalnya, banyak yang protes, “Anak kecil kok dikerudungin sih, kasihan gerah,” salah satu tetangga bawel. Tapi, orang tua cuek saja. 

Orang tua tersebut menyampaikan bahwa, mereka sengaja “memaksa” anak-anak perempuannya untuk berkerudung sejak usia satu tahun, awalnya gak mau, sebentar-sebentar dilepas dan dibuang, namun beberapa bulan kemudian menjadi kebiasaan, bahkan satu tahun berikutnya mulai coba berkerudung sendiri meskipun belum bisa banget. 

Fenomena seperti itu menunjukkan, bahwa pembudayaan dalam pendidikan (mau atau tidak, sadar atau tidak) harus dimulai dari beberapa level, dari paksa, bisa, dan biasa, bahkan luar biasa. Bukankah ketika kecil seorang anak juga dipaksa untuk makan; disuapi sambil nangis enggak keruan-keruan, lalu bertahap bisa makan sendiri, dan masak sendiri. Proses alamiah yang manusia jalani dengan sempurna pasti tidak lepas dari “didikan” Allah Subhanahu wa Ta’ala. Cuma manusia terkadang tidak merasa, bahkan mengaku-ngaku bisa sendiri.

Menurut K.H. Muhammad Idris Djauhari (2009) dalam buku “Generasi Robbi Rodhiyah” menjelaskan, bahwa proses pendidikan spiritual dan karakter di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, apabila orang tua ingin memiliki anak yang cerdas-berakhlak, maka mereka harus mengkonsumsi makanan yang halal dan sehat (thayyib). Makanan yang dibeli dari uang hasil korupsi akan berdampak pada perkembangan mental anak.

Kedua, orang tua memilih tempat yang Islami bagi anak. Lingkungan sangat memengaruhi pertumbuhan karakter anak. Kalau anak-anak hidup dan bergaul dengan masyarakat yang gemar membaca Al-Quran, kemungkinan mereka juga senang mendengar dan melantunkan ayat-ayat Al-Quran.      

Ketiga, ayah-ibu, dan keluarga meneladankan sikap kasih sayang terhadap anak; menghindari segala sesuatu yang bersifat kasar, baik ucapan, tindakan, dan penampilan. 

Keempat, orang tua mengajarkan akhlak sosial kepada anak, misalnya: mengucapkan salam sebelum masuk rumah, menyapa orang lain, bersalaman, menjaga kebersihan dan ketertiban lingkungan sekitar.

Kelima, ayah dan ibu mengajarkan perbedaan antara dua hal yang kontradiktif: baik-buruk, boleh-tidak boleh, suci-najis, jujur-bohong, hemat-boros, rajin-malas dan sebagainya. Sehingga watak anak terbentuk sejak kecil.      

Banyak orang tua mengeluh, katanya “Susah ustadz ngajak anak-anak untuk shalat.” Ya susah, memang gampang? Saya tanya kepada mereka, sejak kapan mengajak anak-anak untuk shalat berjamaah? Mayoritas menjawab, baru sejak SMP, dan SMA. Katanya, kalau masih SD kasihan, anak-anak waktunya bermain dan tidur, apalagi shalat subuh. Ya, orangtuanya sendiri juga kadang tidak bangun. Na'udzu billah. 

Siapa pun yang memilki tanaman hias, maka keinginan untuk menjadikan tanamannya berkualitas super, mesti dirawat dengan hati-hati sedari kecil. Misalnya, tanaman bonsai cemara yang harganya selangit, sudah “dipaksa” agar batang dan rantingnya bagus dimulai sejak masih kecil.

Artinya, pembentukan karakter, seperti budaya berhijab, berjilbab, dan berkerudung, dan lain-lain bukan setelah “menjadi baik,” tapi setelah balig, bahkan sebelum itu untuk pembiasaan.

***

*) Oleh : Dr. Edi Sugianto, M.Pd., Dosen pada Prodi PAI Institut Agama Al-Ghuraba Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Kudus just now

Welcome to TIMES Kudus

TIMES Kudus is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.